Kucing adalah hewan yang dapat dijumpai dengan mudah disekitar kita, baik
kucing liar maupun kucing ras yang dipelihara. Kucing dijadikan hewan
peliharaan karena sifatnya yang jinak dan menggemaskan. Corak warna, bentuk
tubuh dan warna mata merupakan daya tarik lebih yang menyebabkan banyak orang
ingin memeliharanya. Namun demikian, perawatan kucing juga tidak begitu mudah
apalagi dengan sifatnya yang aktif bergerak akan menambah resiko untuk kucing
terserang penyakit.
Berpikiran bahwa hanya kucing liar yang tanpa perawatan saja yang akan
terkena penyakit adalah suatu pemikiran yang kurang tepat, pada kenyataannya
kucing rumahan yang dipelihara sekalipun apabila tidak dirawat dengan baik dan
benar akan mudah terkena penyakit yang akan menyebabkan bulu-bulu rontok, kulit
menjadi terluka dan kucing akan kehilangan daya tariknya.
Salah satu hal yang paling dihindari bagi pecinta kucing adalah
kerontokan yang terjadi pada rambut-rambut kucing. Pasalnya kerontokan yang
parah akan menyebabkan kebotakan. Salah satu penyebab kebotakan ini adalah yang
dikenal dengan sebutan “Ringworm”.
Apa itu ringworm dan apa penyebabnya…?
Dermatophytosis (Ringworm)
merupakan penyakit akibat jamur yang menyebabkan keratinisasi (pembentukan
keratin) berlebih pada permukaan terluar kulit (epidermis) juga pada kuku dan
rambut. Dermatophytosis disebabkan oleh infeksi fungi yang termasuk dalam genus
Dermatophyta di antaranya Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton (BSAVA’s, 1998; Kahn dan Line, 2007; Chaitra dan Bala, 2014).
Kucing dapat terinfeksi dengan mudah oleh penyakit Ringworm karena sifat kucing yang suka mengguling-gulingkan
tubuhnya pada tanah, karena perawatan yang kurang baik, dan juga karena kucing
juga suka berkeliaran untuk mencari makan dan minum. Dimana kondisi ini dapat
menjadikannya mudah terinfeksi Ringworm (Vhodzan, dkk., 2013).
Infeksi oleh kapang ini dinamakan ringworm
karena diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya dimulai dengan
adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila dibiarkan akan meluas secara
melingkar seperti cincin. Dermatophyte merupakan jenis kapang penyebab
kerusakan di kulit karena zat keratin yang terdapat di kulit diperlukan untuk
pertumbuhannya (Palupi, 1997).
Pada kucing, penyakit Ringworm
ini disebabkan oleh kapang yang dikenal dengan nama Microsporum canis (Jawetz, et al., 2013). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa 82% dari 89 sampel kucing positif mengalami dermatofitosis
yang disebabkan Microsporum canis (Bernado
et al., 2005).
Microsporum canis merupakan
fungi yang memiliki hifa yang bersepta dan makrokonidia serta mikrokonidia
sebagai alat reproduksinya. Microsporum
canis memiliki konidia yang besar, berdinding kasar, multiseluler (Calka,
et al., 2013). Makrokonidia biasanya berbentuk gelondong dengan 6-12 sel, mikrokonidia
berbentuk oval dengan ukuran kecil dan ditemukan sedikit di sepanjang hifa (Soedarmanto
et al., 2014).
Klasifikasi dari Microsporum Canis menurut
Dwidjoseputro (1994):
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Class : Eurotiomycota
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Spesies : Microsporum canis
Microsporum canis dapat
bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Dalam reproduksi secara seksual, Microsporum canis menghasilkan askospora
yaitu spora yang berada di dalam askus (kantung) yang berada di ujung-ujung
hifa. Spora yang terbentuk akibat adanya kariogami (peleburan inti) sehingga terbentuk
suatu inti yang berkromosom diploid yang kemudian akan membelah secara
meiosis dan dilanjutkan dengan pembelahan mitosis sehingga menghasilkan 8 inti.
Jika
askus sudah matang, maka askospora akan membesar, ketika askus pecah, askospora
(Shafiee, et al., 2014).
Dalam reproduksi secara aseksual, Microsporum
canis menggunakan konidia aseksual yang disebut konidiospora. Hifa
haploid yang sudah dewasa akan menghasilkan tangkati yang disebut konidiofor.
Pada ujung tangkai ini akan terbentuk spora. Konidia ini memiliki satu
nucleus dan dapat disebarkan oleh angin, air, dan bulu hewan penderita. Cara
reproduksi ini paling dominan dan berlangsung dengan cepat (Shafiee, et al.,
2014).
Meskipun nama spesies dari fungi adalah canis ("canis"
menyiratkan anjing), inang alami dari Microsporum
canis adalah kucing domestic (Frymus, et al., 2013). Kucing betina, kucing
berusia di bawah empat bulan, dan kucing berambut panjang mendominasi kucing
penderita dermatophytosis akibat infeksi Microsporum
canis. Kucing dengan usia muda memiliki risiko lebih tinggi terserang dermatofitosis
karena sistem kekebalan tubuh yang belum sempurna. Sel keratin lebih banyak pada rambut yang
panjang daripada rambut pendek sehingga Microsporum
canis lebih banyak ditemukan pada kucing berambut panjang daripada berambut
pendek (Hoskins, 2001).
Gejala klinis yang sering ditimbulkan oleh fungi jenis ini berupa cincin
melingkar pada tempat yang terinfeksi serta kebotakan bulu dan rambut pada
bagian tubuh yang terserang (Wibowo, 2010). Lesi (kerusakan kulit) local yang
terdiri dari kombinasi alopecia
(kebotakan), erythema (kemerahan), papula (tonjolan pada kulit), serta scaly (bersisik) dan crusty
(berkerak) sering ditemukan pada kucing yang mengalami dermatofitosis pada
daerah badan, wajah, kaki, telinga, dan ekor (Outerbridge, 2006). Warna
kemerahan yang terjadi pada kulit merupakan bentuk keradangan aktif yang terjadi
pada kulit sebagai upaya mencegah adanya penetrasi dermatofita pada bagian
kulit. Proses peradangan akan menepi dan membentuk central healing sehingga disebut
ringworm (Miller et al., 2013).
Pengobatan pada kucing penderita dapat dilakukan dengan dua cara
pengobatan, yaitu pengobatan secara topikal (pengobatan luar seperti: pemberian
salep, obat gosok, dan penggunaan shampo) dan pemberian obat oral (makan).
Pemberian salap dan obat gosok bisa digunakan untuk masa penyembuhan ringworm yang terlokalisasi (terpusat).
Sedangkan untuk membasmi spora dan ringworm
yang meluas atau carrier
sebaiknya menggunakan shampo anti jamur. Sebagian besar obat oral memiliki efek
samping yang kurang baik, apabila digunakan dalam jangka panjang. Beberapa
reaksi kurang baik dapat muncul setelah pemberian obat oral , oleh karena itu
pemberian obat oral harus diawasi dengan baik oleh dokter hewan (Karagoly ,
2014).
Ringworm dengan jenis tertentu
dapat sembuh dengan sendirinya. Pemberian obat juga dapat dilakukan agar tidak menyebar pada Ringworm kulit yang tidak terinfeksi. Ada dua cara pengobatan untuk
jenis ringworm yang sedang, yaitu
dengan pemberian obat oles dan pemberian obat orang melalui mulut (Larone,1993).
Aduh.. Kasihan sekali bukan bila si manis harus kehilangan rambut-rambut cantiknya. Oleh karena itu, alangkah baiknya apabila kita memperhatikan si manis ini lebih baik lagi. Baik itu menjaga kebersihan kandang, maupun memandikan kucing dengan teratur agar rambut-rambutnya sehat dan bersih. Karena kita tidak pernah tahu apakah spora si kecil itu ikut menempel pada rambut-rambut si manis atau tidak.
So.. Thanks for reading!! ^^
Daftar
pustaka:
BSAVA’s Scientific
Committe. 1998. Scientific Information
Document: Ringworm (Dermatophytosis). J Small Anim Pract 39(7):
362366.
Bernado F, Lança M,
Guerra M, Martins HM. 2005. Dermatophytes Isolated From Pet, Dogs And
Cats, In Lisbon, Portugal (2000-2004). RPCV 100(553-554): 85-88.
Calka, Omer, et al.
2013. Restrospective Evaluation of 104
Tinea capitis Cases. Turki: Medeniyet University 43:1019-1023.
Chaitra, P., Bala, N.K.
2014. Onychomycosis: Insights In Disease Development. Muller J Med Sci
Res 5: 101-105.
Dwidjoseputro, S. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta:
Djambatan.
Frymus, T., et al. 2013.
Dermatophytosis in Cats. Journal of
Feline Medicine and Surgery. Vol. 15 No. 7:598-604.
Hoskins, J. D. 2001. Veterinary Pediatrics, Dog and Cats From
Birth to Six Months 3rd Ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company.
Jawetz, E., Melnick, J.,
Adelbergs. 2013. Medical Microbiology (25
. th Edition). Unites States of America : the mc Graw Hill Companie.
Karagoly . 2014. The Histopthological Changes at Skin of
German Shepherch Dogs associated with Ringworm Infection in Directorate of in
Al Dinanyra Province : Unif. Of Al-Qadissiya.
Khan C.M., Line, S. 2007. The Merck/ Merial Manual For Pet Health. Home Edition. USA: Merck & Co. Inc.
Larone, D.H. 1993. Medically Important Fungi: a Guide to Identification
2nd Ed. Washington DC.
Miller, W.H., Griffin, C.E.,
Campbell, K.L. 2013. Muller and Krik’s
Small Animal Dermatology 7th ed. China: Elsevier.
Outerbridge, C.A. 2006. Mycologic Disorders of the Skin.
Clinical Technic Small Animal Practice 21: 128-134.
Palupi, E.A. 1997. Identifikasi Kapang Penyebab Ringworm pada
Anjing-anjing yang Dirawat di Pondok Pengayom Satwa Ragunan Jakarta Selatan.
Skripsi. Universitas Nasional Jakarta.
Shafiee, Shabnam, Khosravi, Ali Reza, Tamai, Iradj Ashrafi.
2014. Studi
Perbandingan Microsporum canis Terisolasi Oleh Sidik Jari DNA. Mycoses 57: 507-512.
Soedarmanto, I., et al.
2014. Isolasi dan Identifikasi
Microsporum canis Pada Anjing Penderita Dermatofitosis di Yogyakarta. J
Veteriner 15(20: 212-216.
Vhodzan, Adzima., dkk.
2013. Isolasi dan Identifikasi
Dermatofitosis Pada Anjing di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Universitas
syiah kuala. Vol.7. no.1.
Wibowo, D. 2010. Waspadai Ringworm Pada Hewan Kesayangan.
www.compasiana.com (diakses pada 19
Maret 2020 pukul 09.09).
Devita Nurika A./18308141046/Biologi E 2018
huhu ini yg kadang sering muncul mengganggu di kucingku.. semangat dekk!! :))
BalasHapuskasiann bangett kucingnyaa:((( btw ini bisa menyerang semua jenis kucing kah? atau bahkan mamalia lain? thankyou
BalasHapus