Sebagian besar masyarakat mengira infeksi saluran pernafasan atau pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme sepert virus ataupun bakteri padahal jamur pun dapat menyebabkan penyakit Pneumonia, yuk kita kenalan dulu dengan salah satu jamur patogen ini!
Sebelumnya kita harus tau Pneumonia itu apa sih?
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISNBA) dengan batuk dan disertai dengan sesak nafas disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing,berupa radang paru-paru yang disertai eksudasi dan konsolidasi[1]. Mikroorganisme tersering sebagai penyebab pneumonia adalah virus terutama Respiratory Syncial Virus (RSV) yang mencapai 40%, sedangkan golongan bakteri yang ikut berperan terutama Streptococcus Pneumoniae dan Haemophilus Influenzae type B (Hib). Kalau untuk fungi patogennya masih banyak orang yang tidak mengetahuinya, lalu jamur apa sih yang dapat sebabkan Pneumonia? Yaaap kenalkan ini dia Pneumocystis jirovecii (P. jirovecii).
Jamur Pneumocystis jirovecii (P.jirovecii) ini menyebabkan Pneumonia Pnemosistis, agar semakin kenal yuk kita lihat sejarahnya. Pada tahun 1909 mikroorganisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas kemudian pada tahun 1911 Carini dan Maciel menduga mikroorganisme yang ditemukan pada paru marmot ini sebagai salah satu tahap dalam siklus hidup Trypanosoma cruzi. Selanjutnya pada tahun 1942, Meer dan Brug menyatakan untuk pertama kalinya bahwa mikroorganisme tersebut merupakan salah satu jenis parasit patogen pada manusia. Dulunya pneumonia pnemosistis disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, namun kini dikenal dengan nama Pneumocystis jirovecii (P.jirovecii), sebagai penghormatan untuk ahli parasitologi berkebangsaan Cechnya, Otto Jirovec. Karena pada tahun 1952, Vanek bekerja sama dengan Otto Jirovec untuk meneliti patogen ini dan ia menggambarkan siklus paru dan patologi penyakit ini yang kemudian dikenal sebagai parasitik pneumonia atau pneumonia sel plasma interstisial (interstitial plasma cell pneumonia)[2,3].
Untuk habitatnya sendiri Pneumocystis ditemukan secara luas di alam. Karena jamur ini dapat menginfeksi berbagai hewan dan yang paling berpotensi sebagai reservoir adalah hewan pengerat, namun ini infeksi dari spesies P. carinii. Untuk manusia sendiri P. jirovecii tersebar di mana-mana sehingga hampir semua individu pernah terpapar mikroorganisme ini.
Ø Taksonomi
Selanjutnya kita beralih ke taksonominya dari jamur ini, berdasarkan penelitian biologi molekuler, morfologi dan biokimia, P. jirovecii yang sebelumnya dikenal sebagai Pneumocystis carinii f. sp. hominis dimasukkan ke dalam golongan fungus (jamur) yang berhubungan erat dengan Ascomycota. Nomenklatur terbaru Pneumocystis jirovecii, yaitu[4]
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Taphrinomycotina
Class : Pneumocystidomycetes
Order : Pneumocystidales
Family : Pneumocystidaceae
Genus : Pneumocystis
Species : P. jirovecii
Ø Etiologi
Tau gak sih guys, dulunya Pneumocystis dikiranya adalah protozoa namun akhirnya dimasukkan pada kelompok jamur karena beberapa alasan yaitu :
· Mampu melakukan pembentukan spora,
· Memliki truktur mitokondria dalam sel,
· Pewarnaan mikroskop seperti jamur,
· Adanya kemiripan membran sel jamur.
· Adanya kemiripan rRNA dari mitokondria dengan yeast ( khamir).
Meskipun masuk famili jamur, penamaan tingkatan siklus hidupnya mengunakan istilah-istilah dari kelas protozoa seperti Cysta bukan Asci, Kor bukan Spora, dan Tropozoit bukan Khamir.
- Morfologi
Vavra dan Kucera (1970) membagi siklus hidup Pneumocystis jirovecii menjadi 3 stadia:
1. Stadium trofozoit
Pada stadium ini dapat terlihat bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1-5 μ, dan memperbanyak diri secara mitosis. Pada pewarnaan Giemsa, inti bewarna ungu gelap dan sitoplasma bewarna biru terang.[5]
2. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediet antara trofozoit dan kista. Berbentuk oval dengan ukuran 3-5 μ dan berdinding lebih tebal (40-120 μ) daripada stadium trofozoit dengan jumlah inti 1-8.[6]
3. Stadium kista
Merupakan bentuk diagnostic pneumosistosis, juga diduga sebagai bentuk infektif pada manusia. Dengan mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat, berbentuk bulat dengan diameter 3,5-12 μ, mengandung 8 sporozoit dan trofozoit yang sedang berkembang. Sporozoit tersebut dapat berbentuk buah pir, bulan sabit, atau kadang-kadang terlihat kista berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang homogen atau bervakuol.[5,6]
- Siklus Hidup
Selanjutnya untuk siklus hidupnya Pneumocystis jirovecii sendiri belum sepenuhnya dimengerti karena belum berhasil diisolasi in vitro dan sangat sulit mengobservasi siklus hidupnya. Namun, secara umum siklus hidup berbagai spesies Pneumocystis seperti pada gambar dibawah.
Gambar 1. Siklus hidup Pneumocystis carinii. Dikutip dari Collier L, 1998.[13]
Jamur ini ditemukan pada paru mamalia tanpa menyebabkan infeksi yang nyata sampai system imun hospes melemah, dan menyebabkan pneumonia yang fatal[7]
a. Fase aseksual: Bentuk trofozoit (1) bereplikasi secara mitosis (2) ke (3).
b. Fase seksual: Bentuk trofozoit haploid berkonyugasi (1) menghasilkan zigot diploid (2). Zigot membelah diri secara meiosis dilanjutkan secara mitosis menghasilkan 8 nukleus haploid (3). Kista stadium lanjut mengandung 8 sprozoit berisi spora yang akan keluar setelah terjadi eksistasi (4). Stadium trofozoit, kemungkinan mikroorganisme berkembang melalui binary fusion.
Ø Patogenesis
Lalu, siapa saja sih yang bisa terserang oleh jamur ini?
Pneumocystis jirovecii biasanya menyerang individu yang memiliki gangguan sistem immune. Dalam hal ini yang termasuk orang-orang beresiko yaitu
- Penderita HIV + tingkat lanjut
- Pasien dengan obat imunosupresif, terutama dengan Glukokortikoid,
- Anak-anak dengan gangguan imum bawaan,
- Anak dengan gangguan pertumbuhan karena kekurangan gizi.[8]
Ø Klinis
Untuk ransmisi mikroorganisme ini diduga dari orang ke orang, melalui respiratory droplet infection dan kontak langsung dengan kista sebagai bentuk infektif pada manusia. Ketika seseorang menghirup/inhalasi pneumocysta dalam bentuk tropozoid (khamir), maka agen ini, dengan molekul adhesi (terdiri dari polipeptid) yang di milikinya, melekat pada molekul-molekul matriks ekstraselulaer seperti fibronektin, vitronektin, laminin dari tipe 1 pneumocyte. Kemudian kapilar alveoli di rusak yang mengakibatkan masuknya cairan berbusa ke dalam alveoli. Hal ini membuat sel-sel makrofage berkumpul ke dalam parensim paru. Sebagian dari makrofage ini melebur membentuk sel lebih besar dengan banyak inti sel. Jika infeksi menyebar ke seluruh paru, menyebabkan lung failure yang bisa berakhir dengan kematian.[9]
• Gejala Klinis dari Pneumonia Pnemosistis
1. Demam tidak terlalu tinggi, dyspnoe terutama saat beraktivitas dan batuk non-produktif,
2. Frekuensi pernapasan meningkat sampai 90- 120/menit, hingga sianosis.[10]
Progresivitas gejala biasanya perlahan, dapat berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Makin lama sesak napas akan bertambah hebat, Pada imunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai 100%.[11]
Jika diagnosis lebih dini dan terapi adekuat, persentase kematian dapat 10%, namun sebagian sebagian besar kasus Pneumonia Pnemosistis baru terdiagnosis pada otopsi setelah pasien meninggal dunia. Adapun faktor terkait peningkatan mortalitas pasien Pneumonia Pnemosistis antara lain;
o Usia lanjut
o Serum albumin lebih rendah
o Penggunaan ventilasi mekanik
o Pneumotoraks
o Gradien oksigen alveolar-arterial yang lebih besar
o Hemoglobin rendah[11]
Ø Tatalaksana
• Diagnosa
Diagnosis Secara umum diagnosis dapat dilakukan melalui 2 cara[10]
a. Pemeriksaan noninvasif dapat dengan radiologi dada
Pada pemeriksaan radiografi dada, terlihat gambaran khas infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus ke perifer, dapat meliputi seluruh lapangan paru.[10]
Gambar 2. Gambaran radiologi kasus Pneumonia pneumosistis. Dikutip dari Kovacs JA dkk, 2001.[14]
b. Pemeriksaan invasive dengan induksi sputum, bronkoskopi, biopsy torakoskopik, mikroskopik, dan deteksi molekuler. .Namun, gambaran ini tidak spesifik P. jirovecii karena tidak berbeda dari infeksi jamur lain, seperti Mycobacterium, dan infeksi bakteri lain.[10]
• Pengobatan
a. Untuk obat, pilihan utamanya adalah kombinasi trimetropim 20 mg/kg BB/ hari + sulfametaksazol 100 mg/kgBB/ hari per oral, dibagi 4 dosis dengan interval pemberian tiap 6 jam selama 12 -14 hari.
b. Obat alternative lain namun lebih toksik adalah pentamidine isethionat 4 mg/kgBB/ hari diberikan 1x/hari secara IM atau IV selama 12-14 hari. [12]
Meskipun jamur ini bersifat oportunis yaitu menyerang individu yang memiliki kekebalan imun yang rendah seperti penderita HIV. Bukan berarti kita dapat menyepelekannya ya, kita tetap harus ada usaha pencegahannya dengan menjaga kebersihan diri dan sekitar.
“KARENA SEHAT ITU MAHAL”
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC
2. James RS, Charles BB, Robert FM, Ann EW. A new name (Pneumocystis jiroveci) for Pneumocystis from humans. Emerg Infect Dis. 2002: 8(9):891-6
3. Reiss E, Shadomy HJ, Lyon GM. Fundamental medical mycology. New Jersey: Wiley-Blackwell; 2012. p.535-47
4. Krajicek BJ, Limper AH, Thomas CF Jr. Advances in the biology, pathogenesis and identification of Pneumocystis pneumonia. Curr Opin Pulm Med. 2008;14:228.
5. Kwon Chung KJ, Bennet JE. Medical mycology. Philadelphia: Lea & Febiger; 1992. p.369-76
6. Mahon CR, Lechman DC. Textbook of diagnostic microbiology. 5th ed. USA: Saunders Elsevier; 2015.p. 776-85
7. Larone DH. Medically important fungi a guide to identification, 2nd ed. Washington DC:ASM; 1993.p.174-85
8. Emilie C, Fanny L, Marie EB, Marc L, Louis JC, Oliver L. Pneumocystis jirovecii Pneumonia. Infect Dis Clin N Am. 2010;24:107-33
9. Pfaller MA, Anaissie E. Pneumocystis. In: Clinical Mycology, 2nd ed.USA: Churchill Livingstone; 2009.p.385-98
10. Jawetz, Melnick, Adelberg’s. Medical microbiology, 27th ed. California: Mc Graw-Hill Co; 2016 .p.671-81
11. Murray P, Pfaller M, Rosenthal K. Medical microbiology, 7th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016 .p.73-97
12. Calderon, Richard A, Cihlar, Ronald R. Fungal pathogenesis: Principles and clinical application. New York: Marcel Dekker, Inc.; 2002
13. Collier L, Balows A, Sussman M. Topley and Wilson’s microbiology and microbial Infections. Edisi ke-9. New York: Arnold Publishing; 1998. h. 674
14. Ryan KJ. Pneumocystis carinii. Dalam: Ryan KJ, Ray CG, penyunting. Medical microbiology. Edisi ke-4. New York: McGraw Hill; 2004. h. 685-9.
Siti Kholifah/18308141004/Biologi B
Terima kasih infonya :)
BalasHapusApakah obat obatan nya itu dijual di apotek atau hanya khusus di rumah sakit?
BalasHapusMenurut saya obat obat tersebut tidak dijual secara bebas dipasaran, dan mungkin sulit dijumpai di apotek apotek umum
HapusAnak anak dengan gangguan imun bawaan itu seperti apa ya? Apakah ibu hamil yang menderita penyakit tersebut juga bisa menularkan ke janinnya?
BalasHapusUntuk anak anak yang memiliki gangguan imunitas bawaan seperti anak anak yang memiliki alergi tertentu, artritis rematoid, DM tipe 1. Selanjutnya ibu hamil yang menderita penyakit tersebut berkemungkinan menularkan penyakit tersebut pada janinnya karena menurut Singer tahun 1975 melaporkan bahwa transmisi mikroorganisme ini dapat melalui in utero dari ibu ke bayi yang dikandungnya, dengan trofozoit sebagai bentuk infeksinya.
Hapus